Study Islam Rutin Bulanan
Bersama: Bp. Muhammad Zuhri
Assalamualaikum
w.w.
Bapak-bapak peserta kajian Islam
yang saya hormati,
Pada saat ini ada dua
momentum yang patut mendapat perhatian; momentum haji (pada bulan Dzulhijjah)
dan momentum 1 Muharam (tahun baru Hijriah, 1 Suro). Momentum haji merupakan saat manusia di dalam menggarap diri telah mencapai puncaknya. Revolusi individu selesai dengan
hadirnya ibadah haji, maka setelah bulan haji, bergantilah dengan tahun baru hijriah
untuk melakukan
revolusi sosial (revolusi umat).
Sekilas kita akan mengkaji, mengapa haji sanggup menumbuhkan sesuatu yang besar dalam
diri manusia? Bila hal itu datang kepada seseorang, maka ia bukan lagi
sebagai seseorang (individu) melainkan sebagaimana
yang dikatakan Allah kepada
Ibrahim a.s:
"Sesungguhnya
Ibrahim a.s. adalah 'umat' yang patuh
kepada Allah lagi hanif”
(QS. An Nahl: 120)
Ibrahim a.s. yang hanya satu orang dikatakan Tuhan sebagai satu umat. Satu orang tapi disebut sebagai semua orang (satu umat); berarti
Ibrahim as. adalah seorang yang sanggup
berperan mewakili semua orang.
Momentum haji sebagai momentum berubahnya individu kecil menjadi individu
besar sungguh merupakan momen yang luar biasa. Tidak sebagaimana yang
dilaksanakan banyak orang; setiap orang yang memiliki banyak uang, karena
merasa telah
berkewajiban lalu berbondong-bondong pergi ke tanah suci tanpa tahu akan diproses menjadi
apa oleh Allah. Sepulang dari haji, tidak ada perubahan dalam dirinya;
pemikirannya,
tanggungjawabnya dan perjuangannya kepada umat.
"Ada
satu orang
haji yang mabrur pada musim haji
nanti," kata Rasulullah s.a.w. menjelang musim haji tiba. Ketika musim haji telah tiba,
beberapa orang berusaha menemukan haji yang mabrur itu - yang menurut
petunjuk rasul berasal dari bani fulan. Semua pintu miqot dijaga, namun mereka
tidak menemukannya.
"Ya, RasululIah. Seorang haji yang mabrur itu ternyata tidak ada, sebab tidak ada yang datang dari bani fulan," kata mereka.
Rasulullah s.a.w menjawab: "Bagaimana ia bisa pergi haji? Dia adalah seorang tukang sol sepatu
yang menabung bertahun-tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji.
Tetapi ketika musim haji tiba, tetangganya sakit, lalu uang yang hendak digunakan pergi
haji dipakai untuk mengobatkan tetangganya yang sakit itu. Dialah yang mabrur meskipun tidak pergi haji."
Demikian berat untuk bisa menyandang haji yang mabrur di masa Rasulullah s.a.w.
Apalagi pada zaman sekarang, ketika seseorang pergi haji, banyak kepentingan-kepentingan
lain yang membonceng. Maka hendaknya setiap calon haji bertanya pada diri
sendiri: Sudah memadaikah saya berangkat ke tanah suci? Bila benar-benar sudah siap
memikirkan umat, bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat, silakan datang
menghadiri konggres umat manusia sedunia, tempat Allah mewisuda seorang
hambanya menjadi 'Ummatan qonitan-lillah' - sebagaimana yang dikatakan Allah kepada Ibrahim
a.s.
TAWAT DAN SA'I
Umat Islam telah memiliki forum intemasionai jauh sebelum PBB dibentuk.
Di dalam forum itu semua orang berkedudukan sama; berpakaian ihram yang sama,
melakukan ritual yang sama tanpa dispensasi-dispensasi, sekalipun hal itu terhadap diri seorang
raja. Harga
diri seorang raja
serta-merta turun setelah sang raja mencium Hajar Aswad yang lebih dulu dicium seorang pengemis
atau penderita Aids. Dalam diri tumbuh sebuah keyakinan bahwa penyakit itu
tidak menular. Kemelaratan pun tidak akan menular.
Manusia dalam
beraktivitas sehari-hari disimbolkan Tuhan sebagaimana tawaf mengelilingi Ka'bah. Hanya berputar-putar melakukan
rutinitas; pergi-pulang, bekerja-istirahat, tidur-bangun dan
seterusnya. Dalam hidup ini sudah beribu-ribu kali kita melakukan aktivitas-aktivitas itu, namun kita tidak pemah merasakan
bosan, bahkan
kita cenderung menyayangi kehidupan ini karena di dalamnya kita temukan
kenikmatan-kenikmatan Seyogyanya, rasa sayang terhadap kehidupan dimotivasi
untuk meraih kemungkinan-kemungkinan yang lebih tinggi nilainya dari sekedar
kenikmatan-kenikmatan hidup itu sendiri.
Ada hal-hal yang belum
ditemukan oleh seorang individu ketika berjalan melingkar-lingkar
antara tempat tidur dan kantor, antara tempat tidur dan pasar, antara tempat
tidur dan ladang, antara tempat tidur dan tambak. Ada yang belum kita miliki atau harus kita tambah;
nilai-nilai
intelektual, nilai-nilai moral dan nilai-nilai spiritual. Setelah kita memperoleh
nilainilai kehidupan yang senantiasa baru, kita sadar bahwa masa lalu hidup
kita sungguh teramat bodoh (lucu). Sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab yang menangis dan tertawa
ketika teringat kejadian di masa jahiliah; menangis menyesali telah membunuh anak
perempuannya, kemudian tertawa ketika teringat pernah membuat sebuah patung
dari korma untuk disembah, kemudian korma-korma itu (yang dipertuhankan sendiri)
dimakannya.
Ada sesuatu yang mengulang
atau berputar-putar pada diri manusia yaitu aktivitas fisiknya (disimbolkan
dengan ‘tawaf’,
namun ada sesuatu yang tidak mengulang dalam memperoleh nilai-nilai
kehidupannya; semakin bertambah ilmunya, semakin baik akhlaknya, semakin tinggi
level spiritualnya, itulah hakikat ‘sa'i-nya’ manusia. Perjalanan lurus
(sa’i) dalam ibadah haji yang
tampak mengulang tujuh kali hakikatnya adalah sebuah perjalanan yang tidak
mengulang; perjalanan Hajar yang berawal dari kondisi 'tidak memiliki air' dan
berakhir dengan kondisi 'memperoleh air'. Itulah hakikat perjalanan linear Hajar dalam misi
menyelamatkan putranya, Ismail.
AMRULLAH (PERINTAH ALLAH)
Bagaimanakah wawasan ketuhanan Ibrahim
a.s. dalam menemukan kesadarannya? Fenomena Ibrahim a.s. dalam menemukan
kesadarannya dimulai dengan menatap bintang-bintang di langit.
"Ketika
malam menjadi gelap, dia
melihat bintang-bintang lalu berkata: 'Inilah 'Tuhanku'."
(QS.
Al-An'aam: 76)
Orang-orang
suci, pahlawan-pahlawan yang tertulis dengan tinta emas dalam sejarah,
orang-orang yang pernah menyelamatkan bumi, semula menjadi rujukan hidup Ibrahim
a.s.. Itulah nilai kehidupan yang dianggap paling tinggi. Tapi seolah Allah
mengatakan, "Bukan. Itu bukan nilai yang tertinggi, itu bukan Tuhan. Mereka
hanyalah bintang-bintang yang menyinari medannya pada suatu masa. Jangan kau
sembah. Letakkanlah bintang-bintang (orang- orang suci) itu pada maqam
(kedudukannya)."
Mengapa bintang-bintang menjadi simbol
orang-orang besar di masa lalu? Sinar bintang yang kita terima di mata kita,
bukanlah sinar bintang yang sekarang. Sebuah bintang memancarkan sinarnya nun jauh dari angkasa
luar (outer space). Sinar bintang itu berjalan melewati tahun cahaya demi tahun
cahaya dan ketika sampai di mata kita, boleh jadi bintang itu sudah musnah.
Kebanyakan dari bintang-bintang besar meledak dan hancur berkepingkeping dalam
peristiwa ledakan dahsyat yang disebut supernova.
Orang-orang
suci bukanlah Tuhan, mereka ibarat tangan-tangan yang menuding ke arah (tujuan)
yang benar, yaitu Allah. Maka seseorang dikatakan menghormati orang yang menuding bila
ia melihat ke arah tudingan, bukan melihat tangannya yang menuding.
Setelah sadar bahwa bintang-bintang (tangan-tangan yang menuding)
itu bukan Tuhan, Ibrahim a.s. menemukan sesuatu yang lebih jelas dari bintang- bintang, yaitu bulan
purnama.
"Kemudian tatkala ia melihat bulan purnama ia berkata: 'Inilah
Tuhanku”
(QS- Al-An'aam: 77)
Sinar bulan
purnama lebih terang atau lebih jelas dari sinar bulan yang tampak sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya. Jadi, bila bintang-bintang menjadi simbol
masa lalu, maka bulan purnama adalah simbol masa kini (masa yang paling jelas
berlihat).
Kebutuhan
apakah yang paling jelas pada diri Ibrahim saat itu? Kebutuhan terhadap istri
yang bisa melahirkan anak. Sarah tidak bisa
memberikan anak, maka ia meridloi Ibrahim as. mengambil Hajar sebagai pendampingnya. Hajar sanggup merealisasi kebutuhan
Ibrahim as., maka cinta kasih Ibrahim a.s. yang tercurah kepada Hajar saat itu,
menjadikan Sarah cemburu. Allah memerintah Ibrahim a.s. membuang Hajar beserta anaknya, seolah
Allah mengatakan, "Kebutuhanmu saat ini (yang membahagiakanmu) itu bukan
Tuhan. Mereka hanyalah tempat Tuhan menurunkan rahmat-Nya, maka janganlah kebutuhan-kebutuhan itu memperdayakanmu dalam menegakkan kalimat
Tuhanmu. Letakkanlah mereka pada tempat yang semestinya. “Buanglah dia (Ismail) ke padang pasir!" Maka dibuanglah Hajar
dari Kanaan (Yerusalem, Palestina) ke Paran (jazirah Arab).
Sarah hilang
cemburunya setelah Ibrahim a.s. kembali ke Yerusalem (Palestina), lalu Allah menyuruh Ibrahim
a.s. menjenguk Hajar dan anaknya (Ismail) - yang telah beberapa tahun ditinggal di padang pasir.
Menemukan Ismail sebagai anak yang tampan, cerdas lagi setia, timbul kebahgiaan yang meluap-luap pada
diri Ibrahim a.s. "Inilah dia yang kelak menyambung perjuanganku menegakkan
kalimat tauhid. Dialah 'matahari' yang besok pagi akan terbit dan bersinar."
Setelah bulan purnama tenggelam, Ibrahim as. menemukan matahari sebagai
tuhannya.
"Kemudian
tatkala ia melihat matahari berbit, ia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar."
(QS.
AL-An'aam: 78)
Allah seolah
kembali mengatakan, "Bukan! Itu bukan Tuhan. Itu bukan nilai-nilai
kehidupan yang tertinggi. Bawalah dia. Bantailah dia! Tiga malam berturut-turut Ibrahim
bermimpi disuruh membantai anaknya sendiri. Inilah masalah manusia. Manusia
memiliki tiga kekuatan besar dari Rabbul'alamin: 1). Kekuatan fisik 2). Ketajaman akal 3).
Kelembutan
moral. Ketiga kekuatan itu tidak sanggup menerima Amrullah yang berupa 'sembelihlah anakmu.' Akal mana yang
membenarkan seorang ayah menyembelih anak yang, dicintai? Moral mana yang
merelakan seorang ayah membantai anak yang dicintai? "Salah!", kata akal.
"Itu kekejian yang luar biasa," kata moral. Begitu pula kekuatan
fisik; tangan akan gemetar tak sanggup mengangkat pedang atau mengayunkan
kapak bila untuk membunuh anak yang dicintai. Tetapi, itulah Amrullah. Tiga
kekuatan manusia hancur menghadapi Amrullah. Saat itu, bila seseorang berbuat sesuatu (merespon
Amrullah untuk membunuh
anaknya sendiri), maka bukan
dia yang berbuat sebab hakikatnya dia telah mati; telah meninggalkan akalnya, moralnya dan kekuatan fisiknya.
Demikianlah perintah dari Yang Mutlak. Bila Amrullah hadir pada seseorang,
ia disebut 'mengalami kiamat' (kiamat sugro). Itulah saat perubahan besar pada
diri manusia. Bukan kiamat kubro (hancurnya alam semesta), melainkan kiamat
kehidupan seseorang yang berdimensi waktu. Saat matinya kehidupan individu dan
lahirnya kehidupan individu baru. Bukan kehidupan fisikal, hukan kehidupan
intelektual dan bukan kehidupan moral, tetapi kehidupan spiritual (kehidupan Abdullah), lahir sebagai Ahlullah (keluarga Allah).
"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu.
Sesungguhnya goncangan hadirnya sa'at (kiamat sugro, hancurnya individu kecil
menjadi individu besar, Abdullah) adalah
suatu kejadian yang sangat dahsyat. Pada
hari itu kalian menyaksikan ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya lupa akan bayinya (moralitas hancur) dan
ibu-ibu yang sedang hamil mengalami keguguran (kekuatan fisik sirna) dan kamu
akan melihat manusia dalam kondisi mabuk sedangkan mereka tidak sedang mabuk (ketajaman akal tidak berjalan), akan tetapi
(bila hal itu tidak terjadi, sebab seseorang tidak
sanggup merespon
Amrullah) sungguh adzab Allah
itu sangat pedih" (QS. Al-Haj:1- 2)
Tiga kali
Ibrahim a.s. bermimpi, berarti hal itu totalitas perintah dari Allah. Ia bersama Ismail akhirnya berjalan menuruti
mimpinya itu, meskipun dengan hati yang masih teka-teki. Suara-suara setan yang mencoba memperdayainya, masih
direspon dengan melempari batubatu. Setelah
sampai di sebuah tempat yang ditentukan Allah, yaitu di Mina, barulah Ibrahim
a.s. yakin bahwa hal itu benar-benar perinfiah Allah (Amrullah). Maka diayunkannya
sebilah kapak ke leher anaknya itu, dan
Allah Yang Maha Kreator menggunakan kesempatan, mengangkat lsmail dan
menggantinya dengan seekor domba, seolah Dia
mengatakan: "Aku sudah tahu kau ta'at pada-Ku. Tandanya kapak kau ayunkan.
Tujuan-Ku bukan untuk membunuh Ismail, tapi melihat ketaatanmu pada setiap
perintah-Ku; apakah engkau masih menggunakan akalmu, moralmu, dan kekuatan fiisikmu ketika berhadapan dengan perintah Ku?”
Apa yang dilakukan Ibrahim as. kini dikenang para jamaah haji dengan
melakukan napak tilas. Bukan untuk
menjadi seperti Ibrahim as., namun boleh jadi dalam diri tumbuh kesadaran akan
keutuhan hidup mereka dengan seluruh umat manusia. Itulah yang dicita-citakan
Ibrahim a.s.; membentuk sebuah struktur besar umat manusia yang disebut Ummatan Wahidatan (umat yang
satu); umat yang memiliki satu tujuan yakni mengabdi (taat dan tunduk) pada setiap amr-Nya.
Peristiwa haji
telah berlalu. Ibadah itu, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an (Surat Al-Haj/ Haji ayat 1-2), telah menghancurkan
individu kecil menjadi individu besar (Abdullah) yang kondisinya siap
dilemparkan Allah ke dalam semesta umat manusia. Saat itulah satu orang
individu siap melindungi semua orang dalam wilayah manajerialnya. Pepatah jawa mengatakan
'kodok kang wis
ngemuli lenge' (seekor katak yang sanggup melindungi liangnya) atau 'warangka
manjing curiga' (sebilah keris yang sanggup melindungi sarung / rangkanya);
adanya seseorang menyebabkan seluruh bangsa tidak dimurkai Allah. Itulah
derajat spiritual seorang haji yang mambur (insan kamil) --sebuah
pangkat yang tidak mungkin diperoleh tanpa pengorbanan. Pengorbanan yang
dimaksud adalah pengorbanan yang digambarkan sebagaimana pola garis spiral
(yang melingkar tetapi tidak pernah bertemu). la adalah gabungan antara tawaf yang melingkar dan sa'i
yang lurus. Perjalanan tawaf yang melingkar (berputar-putar, cosmos) dan sa'i yang
lurus (linear) bertemu di satu titik tatkala wukuf di Arofah dalam kondisi ma'rifat. Dia sudah dikenal Allah sebab Allah mau mengenalnya. Sejak saat
itulah pola perjalanan spiral dimulai; pengorbanan yang semakin hari semakin
besar seiring dengan semakin bertambahnya umur, kemampuan intelektual,
kekayaan, keluasan persepsinya terhadap kenyataan dan kekuasaan yang
dimilikinya. Perjalanan dengan pola spiral dari Rabbul'alamin adalah perjalanan sebagaimana jalannya galaksi-galaksi - dan
itulah yang kelak akan sampai ke Hadratur-rabbani,
di tempat
seseorang memiliki potensi Rabbaniah (setiap
do'a/permintaannya dikabulkan).
Rasulullah Ibrahim as. berdo'a:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan
kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya mereka termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku,
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS.Ibrahim: 36)
Ibrahim a.s. (dan nabi-nabi besar lainnya) senantiasa mendo'akan kebaikan
untuk seluruh umatnya. Tidak hanya untuk pengikut-pengikutnya,
melainkan juga untuk para pembangkang,
"Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," kata
Ibrahim a.s. seolah mengingatkan Tuhan, khawatir Tuhan `lupa akan sifat Nya – sebagaimana seorang sahabat yang mengingatkan sahabatnya yang lain. Itulah Ibrahim a.s. yang menempati maqam 'Khalilullah' (sahabat Allah).
Demikian seharusnya kita dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Nahi munkar
(mencegah kemungkaran) hendaknya dinyatakan dengan cinta
kasih; mengubah kondisi tanpa membuat kerusakan di muka bumi. Rasulullah s.a.w. tidak marah ketika diludahi mukanya
atau dimainkan jenggotnya di saat beliau sedang berdakwah. Adapun Rasulullah s.a.w. kemudian berperang, bukan
berarti ia telah kehilangan cintanya. Perang yang dilakukan Rasulullah s.a.w. adalah dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemimpin umat (raja) yang harus
membawa aspirasi rakyatnya. Misalnya,
ketika para hafidz yang diutus
berdakwah ke sebuah wilayah pulang tinggal jenazah, rakyat pun marah, menuntut Rasulullah s.a.w. maju memimpin
mereka berperang. Rasululiah s.a.w. merespon kejadian itu menurut fungsinya sebagai raja (bukan sebagai pribadi),
maju bersama rakyatnya melawan kedzaliman. Dalam beberapa kali peperangannya,
pasukan yang dipimpin Rasulullah s.a.w terdesak. Jibril
datang menawarkan bantuan, namun Rasulullah s.a.w. menolak
bantuan malaikat yang hendak menghancurkan pasukan musuh itu. Peristiwa itu
dinilai beliau sebagai
suatu peristiwa yang paling ditakuti dalam hidupnya.
Sejak hijrah
dari Mekkah ke
Madinah, Rasulullah s.a.w.
berjuang menyatukan umat manusia agar manusia menghambakan diri kepada
Tuhannya. Perjuangan itu dimulai dengan mengisi keimanan (ketika di Mekkah) dan
melanjutkannya dengan
menanamkan konsep-konsep kemasyarakatan (ketika telah hijrah di Madinah),
menyatukan suku-suku yang terus berperang di jazirah Arab, hingga akhimya
seluruh jazirah Arab bersatu. Revolusi besar itu hanya membutuhkan waktu 23
tahun, maka tidak heran bila para sejarawan mana pun mengagumi revolusi sosial
(revolusi umat) yang dipimpin Muhammad s.a.w.
Demikianlah tahun baru hijriah
sesungguhnya merupakan tahun perjuangan; tahun ketika kita harus mulai
mengemban ideologi dari Rabbul’alamin. Tetapi, tahun baru hijriah justru jarang
diperingati. Banyak diantara kita yang lebih menyukai peringatan-peringatan
miladiah (kelahiran, mauludan). Seiring dengan kekalahan peradaban Islam dari
bangsa kolonial, penanggalan-penanggalan hijriah pun tergusur oleh penanggalan miladiah.
Marilah kita
memohon, mudah-mudahan dengan memperingati dua momentum sekaligus (bulan
haji dan tahun baru hijriah) kita mendapatkan ampunan-Nya, mohon berkah dan rahmat senantiasa tercurah ke dalam hati,
sehingga dalam setiap langkah ada dalam panduan dan ridla-Nya. Amin.
Wassalamualaikum
w.w
Sekarjalak,
21 Februari 2004
/ 30
Dzulhijjah 1424 H
MUHAMMAD
ZUHRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar