Rabu, 21 November 2012

MERESPON AMRULLAH




Study Islam Rutin Bulanan
Bersama: Bp. Muhammad Zuhri

MERESPON AMRULLAH

Assalamualaikum w.w.
Bapak-bapak peserta kajian Islam yang saya hormati,
Pada saat ini ada dua momentum yang patut mendapat perhatian; momentum haji (pada bulan Dzulhijjah) dan momentum 1 Muharam (tahun baru Hijriah, 1 Suro). Momentum haji merupakan saat manusia di dalam menggarap diri telah mencapai puncaknya. Revolusi individu selesai dengan hadirnya ibadah haji, maka setelah bulan haji, bergantilah dengan tahun baru hijriah untuk melakukan revolusi sosial (revolusi umat).
Sekilas kita akan  mengkaji, mengapa haji sanggup menumbuhkan sesuatu yang besar dalam diri manusia? Bila hal itu datang kepada seseorang, maka ia bukan lagi sebagai seseorang (individu) melainkan sebagaimana yang dikatakan Allah kepada Ibrahim a.s:


"Sesungguhnya Ibrahim a.s. adalah 'umat' yang patuh kepada Allah lagi hanif”
(QS. An Nahl: 120)

Ibrahim a.s. yang hanya satu orang dikatakan Tuhan sebagai satu umat. Satu orang tapi disebut sebagai semua orang (satu umat); berarti Ibrahim as. adalah seorang yang sanggup berperan mewakili semua orang.
Momentum haji sebagai momentum berubahnya individu kecil menjadi individu besar sungguh merupakan momen yang luar biasa. Tidak sebagaimana yang dilaksanakan banyak orang; setiap orang yang memiliki banyak uang, karena merasa telah berkewajiban lalu berbondong­-bondong pergi ke tanah suci tanpa tahu akan diproses menjadi apa oleh Allah. Sepulang dari haji, tidak ada perubahan dalam dirinya; pemiki­rannya, tanggungjawabnya dan perjuangannya kepada umat.
"Ada satu orang haji yang mabrur pada musim haji nanti," kata Rasulullah s.a.w. menjelang musim haji tiba. Ketika musim haji telah tiba, beberapa orang berusaha menemukan haji yang mabrur itu - yang menurut petunjuk rasul berasal dari bani fulan. Semua pintu miqot dijaga, namun mereka tidak menemukannya.
"Ya, RasululIah. Seorang haji yang mabrur itu ternyata tidak ada, sebab tidak ada yang datang dari bani fulan," kata mereka. Rasulullah s.a.w menjawab: "Bagaimana ia bisa pergi haji? Dia adalah seorang tukang sol sepatu yang menabung bertahun-tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi ketika musim haji tiba, tetangganya sakit, lalu uang yang hendak digunakan pergi haji dipakai untuk mengobatkan tetangganya yang sakit itu. Dialah yang mabrur meskipun tidak pergi haji."
Demikian berat untuk bisa menyandang haji yang mabrur di masa Rasulullah s.a.w. Apalagi pada zaman sekarang, ketika seseorang pergi haji, banyak kepentingan-kepentingan lain yang membonceng. Maka hendaknya setiap calon haji bertanya pada diri sendiri: Sudah memadaikah saya berangkat ke tanah suci? Bila benar­-benar sudah siap memikirkan umat, bertanggungjawab terhadap kesejah­teraan umat, silakan datang menghadiri konggres umat manusia sedunia, tempat Allah mewisuda seorang hambanya menjadi 'Ummatan qonitan-lillah' - sebagaimana yang dikatakan Allah kepada Ibrahim a.s.

TAWAT DAN SA'I
Umat Islam telah memiliki forum intemasionai jauh sebelum PBB dibentuk. Di dalam forum itu semua orang berkedudukan sama; berpakaian ihram yang sama, melakukan ritual yang sama tanpa dispensasi-dispensasi, sekalipun hal itu terhadap diri seorang raja. Harga
diri seorang raja serta-merta turun setelah sang raja mencium Hajar Aswad yang lebih dulu dicium seorang pengemis atau penderita Aids. Dalam diri tumbuh sebuah keyakinan bahwa penyakit itu tidak menular. Kemelaratan pun tidak akan menular.
Manusia dalam beraktivitas sehari-hari disimbolkan Tuhan sebagaimana tawaf mengelilingi Ka'bah. Hanya berputar-putar melakukan rutinitas; pergi-pulang, bekerja-istirahat, tidur-bangun dan seterusnya. Dalam hidup ini sudah beribu-ribu kali kita melakukan aktivitas­-aktivitas itu, namun kita tidak pemah merasakan bosan, bahkan kita cenderung menyayangi kehidupan ini karena di dalamnya kita temukan kenikmatan-kenikmatan Seyogyanya, rasa sayang terhadap kehidupan dimotivasi untuk meraih kemungkinan-kemungkinan yang lebih tinggi nilainya dari sekedar kenikmatan-kenikmatan hidup itu sendiri.
Ada hal-hal yang belum ditemukan oleh seorang individu ketika berjalan melingkar-lingkar antara tempat tidur dan kantor, antara tempat tidur dan pasar, antara tempat tidur dan ladang, antara tempat tidur dan tambak.  Ada yang belum kita miliki atau harus kita tambah; nilai-­nilai intelektual, nilai-nilai moral dan nilai-nilai spiritual. Setelah kita memperoleh nilai­nilai kehidupan yang senantiasa baru, kita sadar bahwa masa lalu hidup kita sung­guh teramat bodoh (lucu). Seba­gaimana Sayyidina Umar bin Khattab yang menangis dan tertawa ketika teringat kejadian di masa jahiliah; menangis menyesali telah membunuh anak perempuannya, kemudian tertawa ketika teringat pernah membuat sebuah patung dari korma untuk disembah, kemudian korma-korma itu (yang dipertuhankan sendiri) dimakannya.
Ada sesuatu yang mengulang atau berputar-putar pada diri manusia yaitu aktivitas fisiknya (disimbolkan dengan ‘tawaf’, namun ada sesuatu yang tidak mengulang dalam memperoleh nilai-nilai kehidupannya; semakin bertambah ilmunya, semakin baik akhlaknya, semakin tinggi level spiritualnya, itulah hakikat sa'i-nya manusia. Perjalanan lurus (sa’i) dalam ibadah haji yang tampak mengulang tujuh kali hakikatnya adalah sebuah perjalanan yang tidak mengulang; perjalanan Hajar yang berawal dari kondisi 'tidak memiliki air' dan berakhir dengan kondisi 'memperoleh air'. Itulah hakikat perjalanan linear Hajar dalam misi menyelamatkan putranya, Ismail.


AMRULLAH (PERINTAH ALLAH)
Bagaimanakah wawasan ketuhanan Ibrahim a.s. dalam menemukan kesadarannya? Feno­mena Ibrahim a.s. dalam menemukan kesadarannya dimulai dengan menatap bintang-bintang di langit.

"Ketika malam  menjadi gelap, dia melihat bintang-bintang lalu berkata: 'Inilah 'Tuhanku'."
(QS. Al-An'aam: 76)
Orang-orang suci, pahlawan­-pahlawan yang tertulis dengan tinta emas dalam sejarah, orang-orang yang pernah menyelamatkan bumi, semula menjadi rujukan hidup Ibrahim a.s.. Itulah nilai kehidupan yang dianggap paling tinggi. Tapi seolah Allah mengatakan, "Bukan. Itu bukan nilai yang tertinggi, itu bukan Tuhan. Mereka hanyalah bintang-bintang yang menyinari medannya pada suatu masa. Jangan kau sembah. Letakkanlah bintang-bintang (orang- orang suci) itu pada maqam (kedudukannya)."
Mengapa bintang-bintang menjadi simbol orang-orang besar di masa lalu? Sinar bintang yang kita terima di mata kita, bukanlah sinar bintang yang sekarang. Sebuah bintang memancarkan sinarnya nun jauh dari angkasa luar (outer space). Sinar bintang itu berjalan melewati tahun cahaya demi tahun cahaya dan ketika sampai di mata kita, boleh jadi bintang itu sudah musnah. Kebanyakan dari bintang-bintang besar meledak dan hancur berkeping­keping dalam peristiwa ledakan dahsyat yang disebut supernova.
Orang-orang suci bukanlah Tuhan, mereka ibarat tangan-tangan yang menuding ke arah (tujuan) yang benar, yaitu Allah. Maka seseorang dikatakan menghormati orang yang menuding bila ia melihat ke arah tudingan, bukan melihat tangannya yang menuding.
Setelah sadar bahwa bintang­-bintang (tangan-tangan yang menuding) itu bukan Tuhan, Ibrahim a.s. menemukan sesuatu yang lebih jelas dari bintang- bintang, yaitu bulan purnama.
"Kemudian tatkala ia melihat bulan purnama ia berkata: 'Inilah Tuhanku
(QS- Al-An'aam: 77)
Sinar bulan purnama lebih terang atau lebih jelas dari sinar bulan yang tampak sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Jadi, bila bintang-bintang menjadi simbol masa lalu, maka bulan purnama adalah simbol masa kini (masa yang paling jelas berlihat).
Kebutuhan apakah yang paling jelas pada diri Ibrahim saat itu? Kebutuhan terhadap istri yang bisa melahirkan anak. Sarah tidak bisa memberikan anak, maka ia meridloi Ibrahim as. mengambil Hajar sebagai pendampingnya. Hajar sanggup merealisasi kebutuhan Ibrahim as., maka cinta kasih Ibrahim a.s. yang tercurah kepada Hajar saat itu, menjadikan Sarah cemburu. Allah memerintah Ibrahim a.s. membuang Hajar beserta anaknya, seolah Allah mengatakan, "Kebutuhanmu saat ini (yang membahagiakanmu) itu bukan Tuhan. Mereka hanyalah tempat Tuhan menurunkan rahmat-Nya, maka janganlah kebutuhan-kebutuhan itu memperdayakanmu dalam menegakkan kalimat Tuhanmu. Letakkanlah mereka pada tempat yang semestinya. “Buanglah dia (Ismail) ke padang pasir!" Maka dibuanglah Hajar dari Kanaan (Yerusalem, Palestina) ke Paran (jazirah Arab).
Sarah hilang cemburunya setelah Ibrahim a.s. kembali ke Yerusalem (Palestina), lalu Allah menyuruh Ibrahim a.s. menjenguk Hajar dan anaknya (Ismail) - yang telah beberapa tahun ditinggal di padang pasir.
Menemukan Ismail sebagai anak yang tampan, cerdas lagi setia, timbul kebahgiaan yang meluap-luap pada diri Ibrahim a.s. "Inilah dia yang kelak menyambung perjuanganku mene­gakkan kalimat tauhid. Dialah 'matahari' yang besok pagi akan terbit dan bersinar." Setelah bulan purnama tenggelam, Ibrahim as. menemukan matahari sebagai tuhannya.

"Kemudian tatkala ia melihat matahari berbit, ia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar."
(QS. AL-An'aam: 78)
Allah seolah kembali mengatakan, "Bukan! Itu bukan Tuhan. Itu bukan nilai-nilai kehidupan yang tertinggi. Bawalah dia. Bantailah dia! Tiga malam berturut-turut Ibrahim bermimpi disuruh membantai anaknya sendiri. Inilah masalah manusia. Manusia memiliki tiga kekuatan besar dari Rabbul'alamin: 1). Kekuatan fisik 2). Ketajaman akal 3). Kelembutan moral. Ketiga kekuatan itu tidak sanggup menerima Amrullah yang berupa 'sembelihlah anakmu.' Akal mana yang membenarkan seorang ayah menyembelih anak yang, dicintai? Moral mana yang merelakan seorang ayah membantai anak yang dicintai? "Salah!", kata akal. "Itu kekejian yang luar biasa," kata moral. Begitu pula kekuatan fisik; tangan akan gemetar tak sanggup mengangkat pedang atau mengayunkan kapak bila untuk membunuh anak yang dicintai. Tetapi, itulah Amrullah. Tiga kekuatan manusia hancur menghadapi Amrullah. Saat itu, bila seseorang berbuat sesuatu (merespon Amrullah untuk membunuh anaknya sendiri), maka bukan dia yang berbuat sebab hakikatnya dia telah mati; telah meninggalkan akalnya, moralnya dan kekuatan fisiknya.
Demikianlah perintah dari Yang Mutlak. Bila Amrullah hadir pada seseorang, ia disebut 'mengalami kiamat' (kiamat sugro). Itulah saat perubahan besar pada diri manusia. Bukan kiamat kubro (hancurnya alam semesta), melainkan kiamat kehidupan seseorang yang berdimensi waktu. Saat matinya kehidupan individu dan lahirnya kehidupan individu baru. Bukan kehidupan fisikal, hukan kehidupan intelektual dan bukan kehidupan moral, tetapi kehidupan spiritual (kehidupan Abdullah), lahir sebagai Ahlullah (keluarga Allah).
"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya goncangan hadirnya sa'at (kiamat sugro, hancurnya individu kecil menjadi individu besar, Abdullah) adalah suatu kejadian yang sangat dahsyat. Pada hari itu kalian menyaksikan ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya lupa akan bayinya (moralitas hancur) dan ibu-ibu yang sedang hamil mengalami keguguran (kekuatan fisik sirna) dan kamu akan melihat manusia dalam kondisi mabuk sedangkan mereka tidak sedang mabuk (ketajaman akal tidak berjalan), akan tetapi (bila hal itu tidak terjadi, sebab seseorang tidak sanggup merespon Amrullah) sungguh adzab Allah itu sangat pedih" (QS. Al-Haj:1- 2)

Tiga kali Ibrahim a.s. bermimpi, berarti hal itu totalitas perintah dari Allah. Ia bersama Ismail akhirnya berjalan menuruti mimpinya itu, meskipun dengan hati yang masih teka-teki. Suara-suara setan yang mencoba memperdayainya, masih direspon dengan melempari batu­batu. Setelah sampai di sebuah tempat yang ditentukan Allah, yaitu di Mina, barulah Ibrahim a.s. yakin bahwa hal itu benar-benar perinfiah Allah (Amrullah). Maka diayunkannya sebilah kapak ke leher anaknya itu, dan Allah Yang Maha Kreator menggunakan kesempatan, mengang­kat lsmail dan menggantinya dengan seekor domba, seolah Dia mengatakan: "Aku sudah tahu kau ta'at pada-Ku. Tandanya kapak kau ayunkan. Tujuan-Ku bukan untuk membunuh Ismail, tapi melihat ketaatanmu pada setiap perintah-Ku; apakah engkau masih menggunakan akalmu, moralmu, dan kekuatan fiisikmu ketika berhadapan dengan perintah Ku?”
Apa yang dilakukan Ibrahim as. kini dikenang para jamaah haji dengan melakukan napak tilas. Bukan untuk menjadi seperti Ibrahim as., namun boleh jadi dalam diri tumbuh kesadaran akan keutuhan hidup mereka dengan seluruh umat manusia. Itulah yang dicita-citakan Ibrahim a.s.; membentuk sebuah struktur besar umat manusia yang disebut Ummatan Wahidatan (umat yang satu); umat yang memiliki satu tujuan yakni mengabdi (taat dan tunduk) pada setiap amr-Nya.
Peristiwa haji telah berlalu. Ibadah itu, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an (Surat Al-­Haj/ Haji ayat 1-2), telah menghancurkan individu kecil menjadi individu besar (Abdullah) yang kondisinya siap dilemparkan Allah ke dalam semesta umat manusia. Saat itulah satu orang individu siap melindungi semua orang dalam wilayah manajerialnya. Pepatah jawa mengatakan 'kodok kang wis ngemuli lenge' (seekor katak yang sanggup melindungi liangnya) atau 'warangka manjing curiga' (sebilah keris yang sanggup melindungi sarung / rangkanya); adanya seseorang menyebabkan seluruh bangsa tidak dimurkai Allah. Itulah derajat spiritual seorang haji yang mambur (insan kamil) --sebuah pangkat yang tidak mungkin diperoleh tanpa pengorbanan. Pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan yang digambarkan sebagaimana pola garis spiral (yang melingkar tetapi tidak pernah bertemu). la adalah gabungan antara tawaf yang melingkar dan sa'i yang lurus. Perjalanan tawaf yang melingkar (berputar-putar, cosmos) dan sa'i yang lurus (linear) bertemu di satu titik tatkala wukuf di Arofah dalam kondisi ma'rifat. Dia sudah dikenal Allah sebab Allah mau mengenalnya. Sejak saat itulah pola perjalanan spiral dimulai; pengorbanan yang semakin hari semakin besar seiring dengan semakin bertambahnya umur, kemampuan intelektual, kekayaan, keluasan persepsinya terhadap kenyataan dan kekuasaan yang dimilikinya. Perjalanan dengan pola spiral dari Rabbul'alamin adalah perjalanan sebagaimana jalannya galaksi-galaksi - dan itulah yang kelak akan sampai ke Hadratur-rabbani, di tempat seseorang memiliki potensi Rabbaniah (setiap do'a/permintaannya dikabulkan).
Rasulullah Ibrahim as. berdo'a:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya mereka termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS.Ibrahim: 36)
Ibrahim a.s. (dan nabi-nabi besar lainnya) senantiasa mendo'akan kebaikan untuk seluruh umatnya. Tidak hanya untuk pengikut-­pengikutnya, melainkan juga untuk para pembangkang, "Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," kata Ibrahim a.s. seolah mengingatkan Tuhan, khawatir Tuhan `lupa akan sifat Nya – sebagaimana seorang sahabat yang mengingatkan sahabatnya yang lain. Itulah Ibrahim a.s. yang menempati maqam 'Khalilullah' (sahabat Allah).
Demikian seharusnya kita dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Nahi munkar (mencegah kemungkaran) hendaknya dinyatakan dengan cinta kasih; mengubah kondisi tanpa membuat kerusakan di muka bumi. Rasulullah s.a.w. tidak marah ketika diludahi mukanya atau dimainkan jenggotnya di saat beliau sedang berdakwah. Adapun Rasulullah s.a.w. kemudian berperang, bukan berarti ia telah kehilangan cintanya. Perang yang dilakukan Rasulullah s.a.w. adalah dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemimpin umat (raja) yang harus membawa aspirasi rakyatnya. Misalnya, ketika para hafidz yang diutus berdakwah ke sebuah wilayah pulang tinggal jenazah, rakyat pun marah, menuntut Rasulullah s.a.w. maju memimpin mereka berperang. Rasululiah s.a.w. merespon kejadian itu menurut fungsinya sebagai raja (bukan sebagai pribadi), maju bersama rakyatnya melawan kedzaliman. Dalam beberapa kali peperangannya, pasukan yang dipimpin Rasulullah s.a.w terdesak. Jibril datang menawarkan bantuan, namun Rasulullah s.a.w. menolak bantuan malaikat yang hendak menghancurkan pasukan musuh itu. Peristiwa itu dinilai beliau sebagai suatu peristiwa yang paling ditakuti dalam hidupnya.
Sejak hijrah dari Mekkah ke Madinah, Rasulullah s.a.w. berjuang menyatukan umat manusia agar manusia menghambakan diri kepada Tuhannya. Perjuangan itu dimulai dengan mengisi keimanan (ketika di Mekkah) dan melanjutkannya dengan menanamkan konsep-konsep kema­syarakatan (ketika telah hijrah di Madinah), menyatukan suku-suku yang terus berperang di jazirah Arab, hingga akhimya seluruh jazirah Arab bersatu. Revolusi besar itu hanya membutuhkan waktu 23 tahun, maka tidak heran bila para sejarawan mana pun mengagumi revolusi sosial (revolusi umat) yang dipimpin Muhammad s.a.w.
Demikianlah tahun baru hijriah sesungguhnya merupakan tahun perjuangan; tahun ketika kita harus mulai mengemban ideologi dari Rabbul’alamin. Tetapi, tahun baru hijriah justru jarang diperingati. Banyak diantara kita yang lebih menyukai peringatan-peringatan miladiah (kelahiran, mauludan). Seiring dengan kekalahan peradaban Islam dari bangsa kolonial, penanggalan­-penanggalan hijriah pun tergusur oleh penanggalan miladiah.
Marilah kita memohon, mudah­-mudahan dengan memperingati dua momentum sekaligus (bulan haji dan tahun baru hijriah) kita mendapatkan ampunan-Nya, mohon berkah dan rahmat senantiasa tercurah ke dalam hati, sehingga dalam setiap langkah ada dalam panduan dan ridla-Nya. Amin.

Wassalamualaikum w.w

Sekarjalak, 21 Februari 2004
/ 30 Dzulhijjah 1424 H


MUHAMMAD ZUHRI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar